Mari kita tengok sejenak satu fragmen dalam kisah fathul makkah.

“Hadzal yaum, yaumul marhamah. Hari ini, hari kasih sayang”, kata Rasulullah mengingatkan para sahabatnya tentang kondisi fathul makkah tersebut. Tidak boleh ada pertumpahan darah sedikitpun dalam pembebasan Kota Makkah.
Tapi apa yang terjadi? Khalid bin Walid yang ditugasi memimpin pasukan berkuda dari arah bawah kota, bertemu dengan orang-orang yang memang dari dulu paling benci terhadap Rasulullah. Perintah Rasulullah tidak lagi diindahkan, dan pertumpahan darah pun tak terelakkan. Beberapa orang terbunuh dalam peristiwa itu.
“Sudah takdir Allaoh”, begitu kira-kira jawaban Khalid bin Walid ketika ditegur Rasulullah.
Ternyata delapan bulan masuk Islam belum cukup untuk mengajari Khalid tentang konsep takdir dan tentang penafsiran julukan yang diberikan Rasulullah.
Sekarang mari kita berpindah ke catatan berikutnya. Peristiwa Bani Jadzimah, begitu para ahli sejarah menuliskan.
Khalid bin Walid diutus Rasulullah ke perkampungan Bani Jadzimah, sebagai da’i, bukan panglima perang. Tentu misinya bukan untuk berperang, melainkan berdakwah.
Melihat kedatangan Khalid, penduduk Bani Jadzimah menghunuskan pedang mereka, khawatir terhadap keagresifan Khalid.
“Letakkan senjata kalian, karena saat ini semua orang telah masuk Islam.”, kata Khalid, dan mereka menurutinya.
Tapi ketika semua orang telah meletakkan senjatanya, Khalid memerintahkan agar mereka ditangkap, kemudian dibantai. Dan terbunuhlah sebagian besar di antara mereka.
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlepas diri kepadaMu dari apa yang dilakukan Khalid bin Walid.”, kata Rasulullah berlinang air mata setelah mendengar tindakan di luar batas dari Khalid bin Walid.
Maka Rosululloh memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk membayarkan tebusan atas semua kerugian jiwa dan harta, sampai tidak ada yang terlewat sedikitpun.
Dan ketika Khalid bin Walid mendebat Abdurrahman bin Auf yang mencoba menegur Khalid dalam insiden itu, Rasulullah memberikan teguran sangat keras terhadap Khalid.
“Tahan dirimu wahai Khalid! Jangan kau cela sahabat-sahabatku! Demi Allah, andaikan kau memiliki emas seberat Gunung Uhud, lalu kau infakkan semua di jalan Allah, itu tidak akan bisa menyamai satu genggam kurma atau setengah genggam kurma yang mereka infakkan!”
Dan Khalid pun sadar, ia tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan para sahabat yang dari awal masuk Islam, yang berdarah-darah membela risalah kenabian, yang rela meninggalkan semuanya demi perintah hijrah ke Madinah. Sedangkan ia hanyalah orang yang justru pernah hendak mencelakakan Rasulullah di Gunung Uhud.
Yusuf yang Menyejarah

Tampangnya perlente, gagah, sekaligus anggun. Hobinya bermain bola,
bertamasya naik kuda, juga bersyair. Khas anak manja dengan kehidupan
penuh dengan kemewahan.
“Demi Allah, bahkan kalaupun seluruh kerajaan Mesir diberikan kepadaku,
aku takkan berangkat!”, katanya ketika Sultan Nuruddin Mahmud Zanki
memerintahkannya untuk turut serta berperang menemani sang paman,
Asaduddin Syirkuh, mempertahanan Mesir dari serbuan Almaric, Raja
Yerusalem di tahun 1164.
Ia merasa, berperang bukanlah bidangnya, apalagi hobinya. Yang cocok
untuk dirinya adalah bersenang-senang, dan hidup dalam ketenangan.
Hedonis mungkin kalau orang sekarang bilang.
Tapi entah kenapa, ia berangkat juga ke medan jihad. Dan bayangannya
tentang peperangan seketika berubah ketika ia bersama-sama para
mujahidin berjuang mempertahankan Mesir waktu itu. Kenikmatan ukhuwah,
kenikmatan perjuangan, begitu menggelorakan gairahnya dan memunculkan
bakat terpendamnya dalam seni peperangan. Sampai akhirnya ia bisa
membebaskan Al Quds, kiblat pertama ummat Islam, dari penjajah salib.
Hingga sejarah mencatat harum namanya sebagai seorang ksatria besar yang
pemaaf.
Yusuf ini bukanlah Nabiyullah ‘alaihisslaam, melainkan pejuang besar yang dunia mengenalnya dengan nama, Shalahuddin Al Ayyubi.
Banyak mutiara-mutiara hikmah yang berkilauan di antara nama besar pahlawan Islam.
----
Dua kisah di atas, terserah Anda mau mengambil hikmah di sebelah
manapun. Tapi ijinkan saya untuk menukil sedikit hikmah, tentu dengan
keterbatasan yang saya miliki.
Pertama, tentang shibghoh Allah.
Tentu kita sepakat bahwa Islam mampu merubah pribadi lembek menjadi
pejuang, seorang pengecut menjadi pahlawan. Dan seharusnya, dalam
tataran agak lebih khusus, kita juga sepakat bahwa tarbiyah seharusnya
juga bisa merubah seseorang. Maka keberingasan Khalid bin Walid bisa
diarahkan hanya untuk hal-hal yang memang perlu diluruskan dengan
kekerasan.
Kedua, tentang proses.
Khalid bin Walid memang menorehkan prestasi ketika Perang Mu’tah.
Menghancurkan ratusan ribu musuh, bahkan hingga berganti pedang 13 kali.
Tapi ternyata dirinya tidak cukup “cerdas” untuk segera paham tentang
konsep Islam, tentang konsep takdir, tentang konsep ketaatan, dan
mungkin juga tentang konsep ‘bagaimana menerima penghargaan yang tinggi
dari Rosululloh’.
Delapan bulan dalam tarbiyah Islam belum cukup untuk mengendalikan sifat agresifnya dan pendendamnya.
Sedangkan Shalahuddin Al Ayyubi, dilahirkan dalam keluarga Islam. Tapi
kondisi kesehariannya tidak cukup untuk menjadikannya sosok pejuang
sejati. Sampai dia berhasil melewati semua itu, dengan proses
pemaksaan.
Ketiga, tentang komunitas.
Kita lihat, dua tokoh besar itu ternyata membutuhkan orang lain untuk
meluruskan mereka. Awal keIslaman Khalid belum mampu memberikan
kefahaman yang cukup kepada dirinya sehingga harus dinasehati oleh
beberapa sahabat dan Rasulullah. Dan Salahuddin Al Ayyubi ketika
menghadapi peperangan pertamanya, juga harus dipaksa turun ke medan
jihad oleh ayahnya sendiri. Dan komunitas itu akan menjadi penting
sebelum akhirnya sang mujahid bisa mandiri, melesat menjadi anak panah
yang meninggalkan busur-busur komunitasnya.
Keempat, tentang kesempatan.
Khalid telah melakukan kesalahan besar, dan para sahabatpun mencela dan
mengolok-olok dirinya karena kesalahan yang diluar batas itu. Tapi apa
kata Rasulullah?
“Jangan lagi kalian mencela Khalid, sesungguhnya dia adalah satu pedang
dari pedang Allah yang dihunusnya kepada kaum musyrikin.”
Ya, memang ada catatan dalam diri Khalid. Tapi Rasulullah lebih senang
memikirkan bagaimana memaksimalkan potensi kebaikan dalam diri Khalid.
Maka gelar 'Sang Pedang Allah' pun tidak pernah dicabut. Dan Khalid
berhasil belajar dari pengalaman itu. Hingga kedalaman pemahamannya akan
makna perjuangan mengantarkannya pada kalimat, “Satu malam yang dingin
berjaga dalam perang, lebih aku cintai daripada bermalam pertama dengan
gadis perawan”
Dan kesempatan itu pulalah yang merubah seorang Yusuf menjadi Shalahuddin Al Ayyubi.
Melengkapi dari point yg keempat, terkadang kita sering 'terjebak'
dengan 'catatan' atau sesuatu yang 'negatif' tentang seseorang, tanpa
mau melihat potensi sisi kebaikan dan keutamaan orang tersebut. Kita
disibukkan membahas 'catatan' tadi, sehingga tak tersedia waktu untuk
berusaha menggali potensi & kompetensi yg dimililki seseorang….
Semoga kita bisa meniru apa yang dicontohkan oleh Rasulullah…
Wallahu a'lam....sumber klik
No comments:
Post a Comment